Wednesday, April 6, 2011

Akibat Kesalahan Diplomasi Nurdin

Terus Mengekor Bin Hammam

Akibat Kesalahan Diplomasi Nurdin Alasan terbentuknya Komite Normalisasi akhirnya terkuak. Selain karena buruknya kinerja PSSI, hal itu tak lepas dari kesalahan diplomasi yang dilakukan Nurdin Halid cs terhadap otoritas sepakbola tertinggi dunia, FIFA.
 
Duta besar Indonesia untuk Swiss Djoko Susilo menyatakan, kesalahan tersebut berkaitan dengan persaingan Sepp Blatter dan Mohammed Bin Hammam untuk memperebutkan posisi ketum FIFA. Kongres FIFA untuk memilih ketum yang baru bakal dilaksanakan pada 1 Juni mendatang.

"Selama ini Nurdin selalu mengekor Bin Hammam. Dia (Nurdin) meninggalkan politik bebas aktif yang sudah menjadi karakter Indonesia. Itu kesalahan diplomasi luar negeri yang dilakukan mereka (Nurdin cs). Kita ini yang jadi korban kesalahan tersebut," terang Djoko saat dihungi Jawa Pos tadi malam (5/4).

Djoko menambahkan, persaingan Blatter dan Bin Hamman memang sangat ketat. PSSI sendiri dianggap bakal mendukung Hamman. Hal itulah yang membuat kubu Blatter meradang. Apalagi, lumbung suara Blatter di kawasan Asia dianggap tak cukup banyak.

"Peta persaingan menuju ketum FIFA sekarang fifty-fifty. Nah karena Nurdin dianggap bakal mendukung Hammam, akhirnya FIFA bertindak. Bagi Blatter, Nurdin itu tak ada gunanya. Ini sudah politik tingkat tinggi di dalam FIFA," tambah Djoko.

Komite Normalisasi hanyalah sebuah jalan tengah. Sebelum komite itu terbentuk, rupanya terjadi pergolakan besar di internal FIFA. Mereka sempat membahas mengenai berbagai kemungkinan untuk Indonesia. Salah satunya ialah bakal menjatuhkan hukuman bagi persepakbolaan tanah air.

"Sebelum keputusan pembentukan komite normalisasi itu diambil, beritanya malah lebih gawat. Soalnya ada wacana bahwa FIFA bakal membekukan PSSI selama dua tahun," imbuh lelaki berkaca mata tersebut.

Namun, Djoko juga mempertanyakan masuknya beberapa nama ke dalam Komite Normalisasi yang dianggap masih pro Nurdin. Di antaranya ialah Joko Driyono. Lelaki yang juga Direktur PT Liga Indonesia (PT LI) tersebut dianggap masih tangan kanan Sang Puang, sapaan Nurdin.

Hal itu dikhawatirkan bakal membuat semangat reformasi yang diusung akan tergerus sedikit demi sedikit. Jika itu terjadi, tentu pembentukan Komite Normalisasi bakal terasa percuma.

Apalagi jika ternyata nantinya Joko bisa "diremote" oleh Nurdin. Boneka-boneka yang dipasang Nurdin itulah yang selama ini sering luput dari perhatian pecinta sepakbola Indonesia. Mereka terlalu terfokus bagaimana menjatuhkan Nurdin, tanpa mengingat bahwa lelaki asal Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) tersebut bakal menaruh orang kepercayaannya di PSSI.

"Ibaratnya sama saja memasukkan paku ke dalam roti yang akan kita makan. Ingat, PSSI itu bukan hanya Ketum, tapi juga Komite Eksekutiv (Exco) yang juga punya peranan besar," tegas Djoko.

Di sisi lain, Djoko juga memberikan usul pada gerakan pro reformasi untuk tetap menjalankan kongres di Surabaya. Dia menyatakan bahwa FIFA tak akan bisa berbuat apa-apa jika para pemilik suara di kongres ternyata memilih George Toisutta sebagai Ketum PSSI.

Ketidak berdayaan FIFA sudah terbukti saat mereka hanya diam melihat Nurdin tetap menjabat sebagai Ketum PSSI hingga 2011. Padahal, FIFA sudah melayangkan surat yang melarang Nurdin maju sebagai ketum PSSI pada 2007 silam. Hal itulah yang bisa menjadi celah bagi para pengusung reformasi untuk tetap mendukung George maupun Arifin Panigoro menuju kursi ketum PSSI.

"Paling nanti friksinya hanya akan terjadi di depan. Nggak terlalu besar. Kan sudah ada buktinya. Karena itu, maju terus saja. Kalau memang menghendaki Pak George atau Pak Arifin, FIFA tak akan bisa apa-apa," ucap mantan wartawan Jawa Pos tersebut. Sumber : BolaIndo.com

0 comments:

Post a Comment

 
Powered by Blogger